Kemajuan teknologi dan infomasi menjadikan dunia tidak lagi berjarak. Batas ruang dan waktu seolah tidak terlihat. Dengan berkembangnya teknologi, informasi, dan komunikasi kita dapat bercakap-cakap tanpa harus berbicara, kita bisa tersenyum tanpa harus meringis, kita dapat pula berpelukan tanpa harus saling menyentuh.
Derasnya arus informasi abad ke 21 yang ditandai dengan hadirnya internet, ternyata turut serta berkontribusi dalam lunturnya budaya yang dimiliki oleh bangsa kita. Bagaimana tidak, dengan teknologi semua hal ada dalam genggaman. Banyak hal yang dulunya harus dilakukan dengan bertemu dan bertatap muka, kini hanya dengan telepon pintar semua dapat diakes dari dalam rumah.
Perkembangan teknologi tersebut memang ada baiknya, kita dapat menjaga silaturahmi dengan kerabat, keluarga, dan sahabat yang berada di belahan bumi berbeda dengan begitu mudah tanpa mengeluarkan banyak biaya, cukup menyentuh layar smartphone, maka kita dapat berbicara dan tertawa bersama. Namun disatu sisi, ketergantungan manusia dalam teknologi dunia semu, menghilangkan budaya-budaya yang seharusnya kita jaga. Yang jauh terasa sangat dekat, namun ironisnya yang dekat justru terasa jauh. Kebersamaan dalam dunia nyata menjadi bias, sebab kita semua sibuk bersosialisasi dalam dunia maya.
Perubahan budaya yang terjadi di masyarakat, menjadikan cara dan pola hidup masyarakat berubah, yang dulunya tertutup sekarang menjadi terbuka. Yang menjadi masalah, keterbukaan ini mengarah ke pengaruh negatif. Dengan adanya globalisasi yang didukung kecanggihan teknologi, budaya-budaya asing dapat masuk dengan mudahnya. Bahkan sudah menggerus budaya lokal yang kita miliki.
Bagaimana bisa budaya kita terabaikan dirumah sendiri? Inilah yang harus dijadikan bahan intropeksi, saat batas-batas budaya setiap bangsa kabur. Sebagain dapat bertahan, namun beberapa tersisihkan. Sudah saatnya kita bangkit dari keterpurukan, menjadikan kemajuan teknologi sebagai penguat budaya lokal yang kita punya. Mampukah kita mempertahankan budaya kita disaat teknologi informasi menyuguhkan berbagai pilihan menarik lainnya?
Terbuka dengan perkembangan dan kemajuan teknologi boleh-boleh saja, justru itu menjadi kewajiban kita. Namun terbuka disini tidak lantas diartikan dengan membuang kearifan lokal yang ada di negara ini. Berpikir terbuka dapat dimaknai dengan cara berusaha menerima namun tetap memilah mana yang baik dan sesuai dengan karakter bangsa.
Saat ini kemajuan teknologi dan informasi bak dua mata pisau, bila kita dapat menggunakannya sebagai cara untuk mengelola budaya-budaya daerah , maka dapat mendatangkan kesempatan tidak hanya dalam hal pendapatan tetapi juga penghargaan dari bangsa lain. Namun bila kita menggunakannya untuk hal-hal yang merusak moral bangsa (bully, mencaci, menyebar fitnah, mencipta hoax, dan menebar kebencian) maka teknologi justru menjadi boomerang yang secara perlahan menghantam ketahanan indentitas bangsa.
Lalu dengan cara apa kita mempertahankan ketahanan budaya bangsa kita? Masih ada kaitannya dengan teknologi, tentu harus membungkusnya dalam balutan teknologi informatika. Sudah saatnya menghidupkan kembali, budaya yang kini mati suri. Kesenian, bahasa, suku, adat, tradisi, makanan, dan warisan leluhur lainnya adalah bagian dari sebuah budaya, sebab manusia tanpa pengetahuan tentang sejarah masa lalu, asal usul, dan budaya mereka ibarat sebuah pohon tanpa akar. Sebagaimana pepatah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budayanya.
Berbicara tentang kebudayaan, maka Jogja sebagai kota budaya adalah gudangnya anak bangsa yang ingin mengenal masyarakat yang masih mempertahankan keasliannya. Sesuai dengan namanya, Yogyakarta menyimpan berbagai keistimewaan tidak terkecuali kesenian, adat, tradisi dan budayanya.
Banyak temanku bertanya, apa yang membuat Jogja begitu istimewa? Ini adalah perjalananku mengenalkan Jogja kepada mereka. Jogja menjadi salah satu kota yang dapat memikat dunia dengan budaya yang dimilikinya. Dimulai dari samudera, maka Jogja memiliki Pantai Selatan yang ......
1. PARANGTRITIS (LAUT SELATAN)
” Parangtritis... neng kono wong manis
Yen eling kowe mreneo gelis.
Parangtritis... neng kono wong manis
Yen eling aku kepengin nangis
Yen eling kowe mreneo gelis.
Parangtritis... neng kono wong manis
Yen eling aku kepengin nangis
Ombak gedhe katon ngawe-awe
Nelongso neng ati rasane.
Ombak gedhe sing dadi seksine.
Iseh kelingan tekan seprene..”
Nelongso neng ati rasane.
Ombak gedhe sing dadi seksine.
Iseh kelingan tekan seprene..”
Yang mengingatkan kita dengan mantan termanis (coret yang tidak perlu). Sebait lagu campursari bertajuk Parangtritis yang didendangkan oleh Didi Kempot ini paling tidak sudah mewakili definisi mengenai pantai Parangkusumo yang juga disebut Pantai Selatan atau Pantai Laut Kidul.
Sama halnya dengan personifikasi yang telah dibuat, ombak besar pantai Selatan selalu membuat rindu siapapun yang pernah menginjakkan kaki disana. Apalagi jika menginjakkan kaki berdua bersamanya. Nya siapa? Semoga bukan Nya Roro Kidul ya.
Berwisata di pantai yang sudah terkenal dengan legenda dari Nyi Roro Kidul ini, akan membuat kita berdejavu sejenak, mengingat bagaimana Senopati bertemu dengan Nyi Roro Kidul atau mungkin saja kalian punya versi lain dari cerita ini? Nawangwulan yang pergi meninggalkan Jaka Tarub dengan selendang hijaunya?
Tidak ada yang salah, ini adalah cerita legenda. Legenda adalah cerita rakyat mengenai asal-usul suatu tempat. Terkait selendang hijau miliki Nyi Roro Kidul masih nyambunglah ya dengan mitos bahwa kita dilarang mengenakan pakaian yang bernuansa hijau saat ke pantai Laut Selatan karena (mungkin menyebabkan kanjeng Nyi Roro Kidul cemburu dan merasa tersaingi?)
Well, boleh saja, asal jangan bercerita tentang Tukang Bubur Naik Haji. Karena membuat sutradara kesulitan mengarahkan jalan cerita kalau harus melenceng begitu jauhnya ya!
Terlepas dari segala mitos dan cerita mistis yang sudah tertanam dalam mindset masyarakat, yang jelas pantai milik Yogyakarta ini menjadi salah satu pantai terindah dan teromantis yang ada di negeri kita. Panorama alamnya sungguh memesona, deburan ombak memecah karang membuat kita terlupa bahwa kita sedang berada di dunia, bukan di surge euy!
Satu hal yang perlu kalian tahu, Pantai ini sampai saat ini masih dianggap sacral, maka tidak mengherankan jika saat bulan Muharam (sasi Sura) menjadi tujuan para peziarah yang ingin mendapatkan wangsit, karena masyarakat Jogja meyakini adanya hubungan spesial antara Keraton Jogja dengan Nyi Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Dalam tradisi Jawa, Pantai Parangkusumo dianggap sebagai gerbang utama atau jalan menuju Keraton Gaib Laut Selatan, kerajaan Nyi Roro Kidul.
2. PANGGUNG KRAPYAK
Krapyak, where the kings went hunting. Benar sekali, Panggung Krapyak yang saat ini menjadi ikon wisata kota Jogja dulunya adalah tempat dimana para raja senang berburu. Jika kalian membaca sejarah maka kalian akan mengerti bahwa panggung Krapyak ini dulunya adalah hutan lebat tempat segala binatang tinggal, maka tidak mengherankan jika para raja senang meluangkan waktunya untuk berada di hutan Krapyak.
Tidak terkecuali Raden Mas Jolang yang merupakan putra dari Panembahan Senopati seorang raja Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam sendiri merupakan lanjutan dari kerajan Majaphit, Demak, Kerajaan Pajang di wilayah Surakarta dengan raja yang dikenal dengan nama Jaka Tingkir. Alkisah, raden mas Jolang meninggal saat sedang berburu di hutan Krapyak, itulah mengapa beliau diberikan gelar Panembahan Seda Krapyak yang artinya seorang raja yang meninggal di hutan Krapyak.
3. ALUN-ALUN KIDUL (ALUN-ALUN SELATAN)
Alun-alun Kidul yang biasa disingkat Alkid merupakan wilayah bagian selatan dari Kraton Yogyakarta. Lebih tepatnya berada di belakang Keraton Yogyakarta. Ada kepercayaan menarik mengenai alun-alun kidul ini, yaitu pada kedua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun. Konon, bila kita dapat melewati kedua pohon berukuran raksasa tersebut dengan mata tertutup (tanpa belok kemana-mana) maka keinginan dan harapan kita akan tercapai. Kalau kalian berkunjung ke alun-alun selatan, jangan lewatkan momen specialseperti ini ya, siapa tahu keinginanmu untuk bersamanya akan tercapai. (tentunya selain berjalan melewati pohon Beringin kamu juga harus banyak berusaha dan berdoa). Karena dia tidak sembunyi dibalik pohon Beringin.
4. KERATON YOGYAKARTA
What a lovely place, kalau bahasa kita ya, duh, panggonan sing nyenengake! Mengapa menyenangkan? Karena ini adalah keraton, istana, tempat raja dan ratu tinggal. Kapan lagi kita dapat menginjakkan kaki dikediaman raja dan ratu? Tidak semua tempat memiliki keistimewaan seperti ini. Itulah mengapa Jogja disebut istimewa, karena punya beda dengan yang lainnya.
Jika Surakarta pun ya Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran maka Yogyakarta juga memiliki dua keraton yakni Keraton Kasultanan sebagai kraton utama dan Pakualaman sebagai keraton kedua. Saudara kembar yang sama-sama unik, memiliki karakter yang mirip, namun wajahnya berbeda.
Merujuk pada Wikipedia (2019) Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Mengacu pada Tata Rakiting Wewangunan, maka letak bangunan Keraton ini terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya:
Bangsal Kamgangan |
1. Siti Hinggil Kidu (Tanah yang ditinggikan disebelah selatan Keraton)
2. Bangsal Kamandungan (menggambarkan nyawa seorang anak dalam rahim ibu)
3. Regol Gadung Mlati
4. Bangsal Kamagangan (menggambarkan bayi yang mulai tumbuh besar)
5. Bangsal Manguntur Tangkil (tempat untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa)
6. Tarub Agung (menggambarkan sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa maka hidup kita dalam keagungan)
5. ALUN-ALUN UTARA
Termasuk tempat yang disukai oleh warga Jogja maupun warga bukan Jogja yang tinggal di Jogja, karena menjelang sore sampai malam hari banyak warga yang datang ke tempat ini sekedar berkeliling lapagan dengan naik motor atau bercengkerama sambil menikmati kudapan sederhana yang dijajakan oleh pedangan disekitar.
Alun-alun ini juga biasa disebut alon-alon Lor. Lor dalam bahasa Jawa berarti Utara, karena lokasinya berada di sisi utara Kraton Yogyakarta. Untuk itulah masyarakat sekitar menyebutnya juga Altar alias Alun-alun utara atau Alun-alun Lor.
6. TUGU JOGJA
Tugu Jogja atau yang dikenal sebagai Tugu Malioboro ini mempunyai nama lainTugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih, yang merupakan tanda pembatas wilayah utara kota Yogyakarta.
7. GUNUNG MERAPI
Mungkin kalian belum pernah berkunjung ke Jogja, tapi untuk generasi 90an diseluruh nusantara pasti sudah tidak asing lagi bila mendengar kalimat Misteri Gunung Merapi. Sebuah sinetron kolosal jadul yang mempopulerkan sosok Mak Lampir, Sembara, Grandong dan yang lainnya.
Meskipun tidak plek, sama persis dengan cerita yang ditayangkan dalam sinema televiseyang booming di era 2000an tersebut namun masih ada hubungannya kok, gunung Merapi memang punya misteri.
Pemandangan Merapi dari Lereng Gunung |
Gunung yang letaknya berada di sebagain wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta ini termasuk gunung api paling aktif di dunia disamping beberapa cerita mistis yang dimilikinya. Misteri mengenai adanya keraton merapi di dalam gunung masih dipercayai oleh pendaki sampai saat ini. Konon, kerajaan jin yang menghuni keraton Merapi bersahabat erat dengan keluarga Mataram, mereka sering bekerja sama dalam upaya untuk mengalahkan kerajaan Pajang, dengan letusan apinya. Kalian boleh percaya boleh tidak, namun cerita ini telah menjadi bagian dari tradisi dan budaya yang diwariskan oleh para leluhur kita.
Dan uniknya… yang menjadi keistimewaan paling istimewa semua tempat yang sudah aku sebutkan tadi berada dalam satu garis lurus, yang disebut dengan garis imajiner.
Tahukah kalian, jika ternyata semua tempat nan mempesona tersebut berada di satu garis lurus. Yang disebut sumbu filosofi Jogja?
Membentuk poros lurus dari selatan ke utara yang kini disebut sebagai SUMBU FILOSOFI KOTA YOGYAKARTA!!!
Dimulai dari selatan, yaitu pantai Selatanmenuju Panggung Krapyak hingga menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningratyang dimaknai sebagai perjalanan manusia dari lahir hingga dewasa.
Sedangkan Keraton sampai dengan Tugu Jogjasecara historis merupakan simbol keberadaan raja dalam menjalani proses kehidupannya, yang dilandasi manembah manekung (menyembah secara tulus) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan disertai satu tekad menuju kesejahteraan bersama rakyat (golong gilig). Golong-gilig ini diwujudkan dalam bentuk tugu yang dahulu bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig), dan puncaknya berbentuk bulatan (golong).
Bagi generasi milenial (level atas akan segera beralih ke generasi bilenial) yang dalam kehidupannya sudah tidak dapat dipisahkan dengan gadget dan kecanggihan teknologi lainnya, maka mengenalkan budaya harus melalui sampul teknologi. Dengan kata lain, kita harus membungkusnya seindah mungkin dalam balutan teknologi dan informasi.
Namun yang perlu ditegaskan lagi, teknologi tidak mengurangi esensi dan makna dari budaya tersebut. Teknologi mempunyai peran penting sebagai media yang berfungsi menjadi perantara agar budaya dapat diterima oleh generasi muda dengan cara yang tidak kaku. Sebab di era sekarang ini, mau tidak mau kita harus cepat dan tanggap dalam mengikuti arus perkembangan teknologi, kalau kita tidak segera terjun tentu kita akan ketinggalan dengan segala kemajuan,namun kita juga harus dapat menyelam ke dalamnya, jangan sampai tenggelam dalam euphoriayang menyesatkan.
1. Gencar Sosialiasi Budaya
Sering mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan budaya yang kita miliki menjadi cara yang ampuh untuk menjaga identitas bangsa. Mengabadikannya melalui sebuah tulisan dalam berbagai platform sosial media adalah langkah strategiknya. Bagaimana menumbuhkan minat baca dan menulis generasi muda? Bicara tentang membaca dan menulis, tentu generasi kita mempunyai minat baca yang sangat tinggi.
Menulis di Sosmed Menjadi Salah Satu Cara |
Namun kurang sesuai dengan tempatnya, sebab apa? Bila sebatas membaca status facebook yang hanya berisikan curhatan galau karena mantan pacar sudah bersama yang lain, ini bukan budaya yang baik. Rajin menulis captioninstagram yang isinya hanya sebatas kode untuk gebetan juga bukan budaya yang baik. Rajin membuat cuitan di twitter bila hanya sebatas memviralkan hastag #savemantan jelas bukan budaya yang baik. Ini yang menjadi problematika bangsa, kita tidak menggunakan wadah sosial media untuk melakukan hal yang bermanfaat.
2. Bagaimana dengan tayangan yang ada di televise?
Credit: Google Image |
Tidak ada salahnya hafal dengan synopsis dan alur cerita drama Korea Encounteratau Boys Before Flower, tapi kita juga mesti mengerti bahwa ada banyak cerita kolosal milik bangsa kita yang seharusnya dimengerti oleh orang Korea juga, bukan hanya kita yang selalu dicekoki dengan suguhan mereka, tapi mereka juga harus mengenal budaya yang kita punya.
3. Menjadi Sevenfoldism itu gakpapa kok, mau mencantumkan identitas sebagai Belieberjuga boleh saja, tapi kita juga mesti ingat, ada banyak jenis musik tradisional dirumah kita sendiri yang keberadaanya dipandang sebelah mata. Bagaimana bangsa lain akan menghargai apa yang kita punya, jika kita sendiri lebih menyukai apa yang mereka punya?
Credit: Kompas |
4. Dapat berbicara bahasa asing itu keren sekali, lancar berbahasa Inggris itu hebat, fasih berbicara bahasa Jepang itu menakjubkan. Tapi semua itu tidak ada artinya jika kita melupakan bahasa ibu kita sendiri, bahasa yang merupakan kesatuan dari sebuah budaya. Malu bertutur bahasa daerah, tempat kita dilahirkan adalah perbuatan yang lebih memalukan. Bagaimana bisa anak bangsa yang sudah terdidik dan terpelajar justru lebih bangga berucap dengan bahasa oranglain. Ini bukan sekedar untuk dinilai hebat, tapi tentang ‘siapa kita?’
5. Update musik mancanegaraserta menjadikannya daftar putar dalam keseharian kita, tentu boleh saja. Tapi jangan sampai melupakan betapa kayanya bangsa kita dengan berbagai jenis alat musik, lagu daerah, tarian daerah, kesenian daerah, dan suku daerah yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
Credit: Google Image |
Dimana bumi dipijak, disanalah langit dijunjung. Mengajarkan betapa pentingnya menghargai apa yang kita miliki. Lantas siapa yang akan menjaga semua kekayaan itu bila bukan kita? Ujung-ujungnya marah bila keberagaman kita diklaim oleh bangsa lain. Kalau dinalar yang semua salah kita sendiri, kemana saja selama ini? Mengapa tidak menjaganya?
Mengutip kata bijaknya Criss Jami, Budaya popular adalah tempat dimana rasa kasihan disebut kasih sayang, rayuan disebut cinta, propaganda disebut pengetahuan, ketegangan disebut perdamaian, gossip disebuat berita dan auto tune disebut nyanyian.
Budaya lokal yang diwariskan nenek moyang kita bukan sekedar rayuan dan belas kasihan, tapi sebuah keaslian yang membentuk masyarakat kita dari masa dulu hingga sekarang. Ajining diri saka lathi ajining raga saka busana pitutur prasasti Jawa yang secara umum dapat dimaknai bahwa perkataan dan perbuatan sendirilah yang menentukan berhaga atau tidaknya diri kita.
Sebab budaya lokal yang kita punya bukan sekedar berita propaganda. Maka tugas kita adalah menjaga dan merawatnya agar tidak tergerus oleh masa. Salam Budaya, Salam Teknologi. Bukan menghina budaya, bukan membenci teknologi, tapi membingkai keistimewaan budaya bangsa kita dalam sampul teknologi informatika.
Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Pagelaran TIK yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY 2019
Penulis dan Photo : Wiwin Juli