Wednesday, July 10, 2019

Namanya Godril, Biji Pohon Hujan Yang Enak di Makan


Rindangnya Pohon Trembesi (Dok.Pribadi)


Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata, sebuah peribahasa Jawa yang berarti bahwa setiap daerah mempunyai adat dan tradisi masing-masing, memang benar adanya. Tidak terkecuali di daerah tempat kami tinggal. Sebuah desa kecil bernama Mlale di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Kami mempunyai kebiasaan yang sudah diwariskan oleh para leluhur kami, tradisi yang biasa disebut nyadran (bersih desa) rutin kami gelar setiap setahun sekali. Uniknya tradisi ini dilakukan di bawah pohon raksasa, disebut raksasa karena memang ukurannya sangat besar dan sudah berumur ratusan tahun. Yaps! Pohon Trembesi yang menjadi pepundendi desa kami.

Godril, Biji Trembesi (Dok. Pribadi)
           Entah mengapa pohon Trembesi tersebut dijadikan pepuden desa, konon menurut cerita orangtua, pohon Trembesi yang ada di desa kami tersebut menjadi tempat pertapaan pangeran Diponegoro, sejak kecil kami sudah di cekoki dengan cerita bahwa salah satu pahlawan nasional yang memimpin perang Jawa melawan kolonial Belanda tersebut biasa melakukan semedi dan bersembunyi di pohon Trembesi yang ada di desa kami, sehingga desa kami aman tidak terjamah oleh penjajah. Bahkan perang yang telah menelan banyak korban dalam sepanjang sejarah Indonesia itupun tidak menewaskan satu orangpun penduduk desa kami. Itu karena pohon Trembesi! Ketika masih kecil, aku merasa bangga dengan cerita ini, teman-temanku juga mempercayai bahwa keris pangeran Diponegoro masih tertinggal di dalam tanah, tepatnya di dalam akar pohon Trembesi.
Terlepas dari mitos atau fakta, yang jelas pohon Trembesi di desa kami memberikan manfaat secara ilmiah. Pohon yang sangat besar ini selain dikeramatkan semacam azimat yang dihormati oleh masyarakat juga digunakan untuk arena bermain anak-anak. Menjadi peneduh yang ampuh di saat cuaca sedang panas-panasnya, tempat anak-anak desa kami biasa bermain sepak bola, tempat pelepas penat saat sedang banyak masalah karena hijaunya pohon ini mampu menghasilkan banyak oksigen, tempat ngabuburit saat bulan ramadhan tiba, serta menjadi tempat wisata bagi pendatang yang penasaran dengan rindangya pohon yang juga bisa disebut Ki Hujan ini.
Pohon Trembesi (Photo Dok. Pribadi)
Berbicara tentang pohon Trembesi ingatanku selalu melayang pada masa kanak-kanak, masa dimana aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap berangkat dan pulang sekolah aku dan teman-temanku pasti melewati pohon pepundenTrembesi yang bijinya biasa disebut Godriloleh masyarakat di sekitarku.
Ketika hari masih pagi, aku terbiasa menghirup harumnya aroma Godril yang berjatuhan dari pohon, aroma yang dapat ku terjemahkan dalam sebuah rasa, yaitu manis. Aroma manis itu yang selalu membuatku berdejavu dengan ribuan batang Godril yang tergeletak di jalanan. Kadang aku abaikan, aku injak dengan sepatu Riekerku, kadang aku merasa kasihan maka ku ambil satu, namun ku buang lagi.

Usiaku yang masih berkisar enam tahunan ketika mulai bersekolah belum mengerti apa manfaat sebuah biji yang berserakan yang sering kuanggap menganggu jalanku saja, rutukku saat itu, sebab aku lebih menyukai bunga pohon Trembesi berwarna merah muda yang lembut menyentuh pipiku. Aku biasa menggunakannya sebagai kuas perona pipi, itupun karena aku melihat iklan di TV. Bunganya yang cantik aku usapkan pelan di wajahku. Namanya juga kanak-kanak, sebuah pengalaman yang membuatku tersenyum ketika mengingatnya.
Pengetahuanku mulai banyak, level berpikirku pun setingkat lebih tinggi dari usia sebelumnya, terbiasa hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan (atau bisa dibilang kurang) membuatku sering bereksperimen dengan banyak hal yang ada disekitarku, mulai dari mencari bekicot lalu aku jual hingga merontokkan satu pohon buah Jambu milik tetanggaku lalu aku bawa ke sekolah dan aku berikan ke teman-temanku, memberi yang mengharap imbalan sudah pasti. Lima biji seratus rupiah. Keberadaan Godril yang melimpah ruahpun tidak luput dari perhatianku, naluri bisnisku terpancing lagi. Benar sekali, aku mengambil ribuan biji Trembesi berwarna coklat tua itu, hal yang rutin aku lakukan sepulang dari sekolah.
Biji-biji yang sudah ngangkrak dalam kresek bekas pupuk itu aku jemur sebentar, kurang lebih setengah hari supaya tidak terlalu basah, kemudian aku thithiki, sebuah aktivitas mengeluarkan biji Trembesi dari cangkang atau kulit dengan cara memukulinya dengan palu. Hingga menghasilkan buliran-buliran berwarna coklat dalam jumlah yang sangat banyak, mencapai puluhan kilo, kemudian aku cuci dan keringkan dalam tampahbesar. Tentu bukan aku sendiri yang melakukannya, ibu dan nenekku juga ikut membantu.
Setelah biji-biji kering, aku bisa menggorengnya untuk kemudian dimakan. Eits… bukan menggoreng dalam wajan baja menggunakan minyak lho ya! Bukan dengan alat canggih semacam Air Friyer harga jutaan rupiah seperti yang kalian kira, tetapi menggunakan Wingko, aku menyebutnya Wingko. Sebuah panci dari tanah liat yang sudah di modifikasi, Kualiyang khusus digunakan untuk menggoreng makanan tanpa minyak. Proses sangrai adalah definisi yang lebih mudah kita pahami bersama.
Menyangrai biji-biji Godril dalam panci tanah liat seperti inilah yang biasa aku lakukan selepas pulang sekolah. Setelah Godril matang, aku diamkan sejenak agar suhu panasnya berkurang. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam plastik dan direkatkan menggunakan api lampu thinthir. Memang waktu itu segalanya masih serba tradisional. Tidak hanya waktu itu saja deng, sampai sekarang juga masih seperti itu. Hehe.
Godril dengan kemasan sederhana siap dipasarkan kepada teman-temanku di sekolah. Tanpa ada sedikitpun rasa malu aku membawa dagangan bernama Godril ini, justru yang membuat malu adalah saat kita tidak punya usaha, meskipun masih duduk di sekolah dasar, aku dan teman-temanku sudah mempunyai jiwa bisnis yang cukup kreatif. Hampir setiap anak punya inventory atau persediaan barang dagangan. Dengan memanfaatkan hasil-hasil bumi yang ada disekitar atau hasil tanaman orangtua.
Ada yang berjualan es kucir, kedelai goreng, kerupuk, cilok dan berbagai macam buah-buahan yang kita miliki. Jika di musim-musim biasanya aku biasa menjual buah Sawo maka saat musim Godril tiba, aku siap berjualan biji pohon Trembesi. Berbeda dengan jualan buah Sawo yang keberadaannya bisa di bilang langka, karena satu desa hanya orangtuaku yang memilikinya, maka jualan biji pohon Trembesi ini cenderung  seret, hal ini di sebabkan biji Trembesi adalah pohon umum, milik kita bersama. Teman-temanku sudah menggoreng sendiri di rumah masing-masing, kalaupun mereka tetap membeli Godril yang aku jual, motifnya jelas bukan karena kebutuhan dan keinginan, bukan pula belas kasihan. Sesuatu yang sedikit ‘curang’, mereka membeli Godril karena takut jika tidak aku anggap sebagai teman. Meskipun kurang baik, cara itu menjadi strategi yang lumayan ampuh untuk menghabiskan Godril yang aku jual.
Bahkan aku punya pengalaman lucu dengan Godril yang aku jual, saat itu aku menyuruh semua temanku untuk membeli, masih duduk di bangku kelas enam, namanya juga anak-anak esde, masih kental sekali dengan fenomena bolo-bolonan, semacam sekutu dalam persahabatan, baik laki-laki maupun perempuan aku suruh membeli Godril ya menurut saja, kemudian kami semua asyik memakan Godril dikelas, termasuk aku sebagai penjualnya juga ikut makan.
Sesaat keadaan baik-baik saja, bahkan saat wali kelasku mulai mengajar di depan kelas tidak menunjukkan tanda-tanda aneh; sesak nafas misalnya. Tetapi setelah beberapa lama. Hahaha! Benar sekali! Seperti bom yang siap meledak. Duarr! Bau mulut kami semua tercium oleh pak Guruku. Alhasil, kami semua disuruh keluar kelas karena bau mulut yang menyengat, semua ini karena Godril. Kami semua berhamburan keluar kelas untuk berkumur di sumur samping kelas.
Tidak hanya saat kanak-kanak saja, ketika aku sudah memasuki usia dewasa aku juga pernah punya pengalaman mengesankan dengan Godril, hal ini bermula ketika aku mulai pergi merantau, jauh dari kampong halaman dengan bekerja di kota hujan Bogor, lagi-lagi tentang hujan. Datang ke Kota Hujan dengan membawa camilan dari biji Pohon Hujan, semakin melengkapi identitasku sebagai seseorang yang menyukai hujan, tapi bukan itu yang ingin aku bahas.
Saat aku sudah bekerja di salah satu perusahaan garment di Bogor, aku iseng membawa kudapan ‘berbau’ ini ke kantor, lebih tepatnya ke pabrik tempat aku bekerja. Aku sengaja memberikannya ke oppa-oppa dan eonni-eonni yang menjadi atasanku. Awalnya mereka ragu dengan apa yang aku bawa, karena aku tidak punya bahasa ilmiah yang lebih meyakinkan bahwa Godril ini mempunyai banyak manfaat, salah satunya adalah menghilangkan sakit kepala. Aku juga tidak punya kosakata sepadan mengenao Godril secara nasional atau mungkin penyebutan Godril yang sudah diakui dunia internasional.
Aku bilang saja Godril, namanya memang Godril, daripada aku bersusah menyebutnya dalam sebuah kalimat, “biji pohon trembesi yang sudah di thithikilalu di sangrai dalam panci tanah liat”. Akhirnya mereka mencobanya, satu dua biji mulai mereka kupas lalu dikunyah.
Aku sudah bisa menduga bahwa mereka akan berteriak, bilang what the fuck seperti chef Juna yang mengomentari makanan peserta kontes memasak di tv Rajawali, Tapi tidak,..
Mereka kalem-kalem saja, tidak menunjukkan ekspresi ingin muntah ataupun sebaliknya. Tidak bilang amazing, tetapi juga tidak berkomentar yang membuat nadiku berhenti berdenyut. Yes! Not too bad. Aku berhasil menjejalkan santapan tradisional dari kampung kepada oppa dan eonni Korea Selatan. Sebuah biji dari keanekaragaman hayati yang ada di pelosok negeri ini.

Sederhana memang, tapi membuatku terpesona. Saat menuliskan pengalaman dengan Trembesi dalam rangka memperingati Hari Keanekaragaman Hayati 2019 inipun, aku sedang duduk di bawah pohon Trembesi kampusku, sampai aku merasa sangat lapar, barangkali aku juga harus mencoba Kimchi. Hei, kimchi kimchi I’am Hungry, ingin segera memakan kimci, meracik irisan kubis dengan lumuran bubuk cabe yang banyak sekali, ditaburi biji pohon Trembesi!











Silahkan Tinggalkan Pesan dan Komentar Anda di sini... ; ) Terima Kasih atas Kunjungan Anda...

HARAP JANGAN PANGGIL SAYA "MAS" KARENA OWNER BLOG INI SEORANG WANITA