Kerajaan Kediri atau Kerajaan
Panjalu adalah merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di daerah Jawa
Timur yang berdiri pada abad ke-12 yang terdapat di Jawa Timur antara tahun
1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota
Kediri sekarang. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno.
Pusat kerajaanya terletak di tepi Sungai Brantas yang pada masa itu telah
menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Berdirinya Kerajaan Kediri
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang
diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri diharapkan dapat membantu
memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno
peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu
tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur
Muka atau bermuka empat.
Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan
membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh
seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan
tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu
(Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam
prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon
Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi
pertikaian.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai
Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya
Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi
Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang
ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta
Airlangga sehingga terjadilah peperangan.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah
kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang
bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang
berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji
Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota
lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama
Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai
lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.
Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh
Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan
peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur
berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan
tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab
sastra. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya
berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha
yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan
Kediri/Panjalu atas Jenggala.
Perkembangan Kerajaan Kediri
Pada awal masa perkembangannya Kerajaan Kediri yang
beribukota di Daha tidaklah banyak diketahui orang. Prasasti Turun Hyang II
(1044) yang diterbitkan oleh Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang
saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui oleh adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabayalah akhirnya Kerajaan Kediri baru mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini mencakup seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan juga sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Pada Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan di Sumatra dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007 yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi mengenai kerajaan tersebut.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui oleh adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabayalah akhirnya Kerajaan Kediri baru mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini mencakup seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan juga sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Pada Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan di Sumatra dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007 yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi mengenai kerajaan tersebut.
Perkembangan Politik Kerajaan
Kediri
Mapanji Garasakan memerintah Kediri tidaklah lama. Ia
kemudian digantikan oleh Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji
Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang
terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada
berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja
Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke
Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja
Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan
sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun tahta, ia
kemudian digantikan oleh Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil
menaklukkan Jenggala.
Pada tahun 1019 M Airlangga diangkat menjadi raja Medang
Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan.
Setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat
pemerintahannya dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat kerja kerasnya, Medang
Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Jelang akhir hayatnya, Airlangga
memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan
Resi Gentayu. Airlangga akhirnya wafat pada tahun 1049 M.
Seharusnya Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan adalah
seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri.
Akan tetapi karena memilih menjadi pertapa, kekuasaan beralih pada putra
Airlangga yang lahir dari selir. Agar tidak terjadi perang saudara, Medang
Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan,
dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi usaha tersebut
mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12, dimana Kerajaan
Kediri tetap menjadi kerajaan yang megah dan makmur namun tetap tidak damai
sepenuhnya dikarenakan dibayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih
lemah. Hal itu mengakibatkan kondisi gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan
berlangsung terhadap pangeran dan raja-raja antar kedua negara tersebut. Namun
pertikaian ini berakhir dengan kekalahan yang dialami oleh jenggala, dan
kerajaan kembali dipersatukan di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri.
Raja-Raja yang Pernah Memerintah
Kediri
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali
pergantian kekuasaan, Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah dan
berkuasa di Kerajaan Kediri:
- Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu
Jayawarsa
merupakan raja pertama yang memerintah kerajaan Kediri dengan prasastinya yang
berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
- Kameshwara
Kameshwara
merupakan raja ke-dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan
Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama
Digjayottunggadewa (1115 – 1130). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang
bertaring disebut Candrakapala. Selama masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah
mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai
titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi oleh seluruh dunia
bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
- Jayabaya
Jayabaya
merupakan raja kediri ketiga yang digelari Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka
Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Raja Kediri paling tersohor
adalah Prabu Jayabaya. Dibawah pemerintahannya Kediri berhasil mencapai
kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur
dengan ramalan-ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab
yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu
Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap
merakyat dan visinya yang jauh kedepan telah menjadikan prabu Jayabaya layak
untuk dikenang.
- Prabu Sarwaswera
Prabu
Sarwaswera dikenal sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya. Prabu
Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu,
dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau. Tujuan hidup manusia menurut
prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma
dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan,
segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
- Prabu Kroncharyadipa
Namanya yang
memiliki arti benteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada
masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari
pemerintahannya dengan prinsip sad kama murka, yaitu enam macam musuh dalam
diri manusia. Keenam itu antara lain kroda (marah), moha (kebingungan), kama
(hawa nafsu), loba (rakus), mada (mabuk), masarya (iri hati).
- Srengga Kertajaya
Srengga
Kertajaya dikenal sebagai seorang prabu yang tak henti-hentinya bekerja keras
demi bangsa dan negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat diharapkan
olehnya. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan
oleh prapanca.
- Pemerintahan Kertajaya
Kertajaya
merupakan raja terakhir pada masa Kerajaan Kediri. Kertajaya adalah raja yang
mulia serta sangat peduli dengan rakyatnya. Kertajaya dikenal dengan catur
marganya yang memiliki arti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.
Kehidupan Sosial Masyarakat
Kerajaan Kediri
Jika dilihat dari kehidupan sosial masyarakat Kediri pada
masa itu bisa dibilang cukup baik karena kesejahteraan rakyat pada saat itu
bisa dibilang meningkat, masyarakat hidup dengan tenang, hal ini bisa dilihat
dari rumah-rumah rakyatnya yang cukup baik, bersih, rapi, dan berlantaikan ubin
yang berwarna kuning dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain
sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka
seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni
sastra. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda
ketahui sampai sekarang.
Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan
pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu
seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh pada
masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan
Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab
Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Kesemuanya itu dihasilkan pada masa
pemerintahan Kameswara.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang
diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri diharapkan dapat membantu
memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno
peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu
tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur
Muka atau bermuka empat.
Kehidupan sosial pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat
dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M.
Dalam Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri menggunakan kain sampai
bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah masyarakatnya rata-rata sangatlah
bersih dan rapi. Lantainya tebuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya
sangat lah memerhatikan keadaan masyarakatnya sehingga pertanian, peternakan,
dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Masyarakat Kediri dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
Masyarakat Kediri dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
1. Golongan masyarakat pusat (Kerajaan)
Adalah masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
Adalah masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2. Golongan masyarakat thani (Daerah)
Adalah golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
Adalah golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
3. Golongan masyarakat non-pemerintah
Adalah golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.
Adalah golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.
Kerajaan Kediri berdiri dari pembagian Kerajaan Mataram oleh
Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dimaksudkan agar tidak terjadi
perselisihan di antara anak-anak selirnya. Belum ada bukti yang jelas bagaimana
kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad dikatakan
bahwa kerajaan dibagi menjadi empat atau lima bagian. Tetapi dalam
perkembangannya hanya ada dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri
(Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat
ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu
atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.
Karya Sastra dan Prasasti Pada
Zaman Kerajaan Kediri
Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya adalah:
a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M
Menjelaskan kemenangan Kerajaan Kediri atas Jenggala
Menjelaskan kemenangan Kerajaan Kediri atas Jenggala
b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M
Menjelaskan Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang memiliki arti Kediri Menang. Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui jika Raja Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.
Menjelaskan Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang memiliki arti Kediri Menang. Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui jika Raja Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan
Kediri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan
diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi
kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas
Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan
Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara
bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman
pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis
Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Di samping kitab sastra maupun prasasti di atas, juga
ditemukan berita China yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan
masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain.
Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang
ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh
Chau-Ju-Kua tahun 1225 M.
Kondisi Ekonomi Pada Zaman Kerajaan
Kediri
Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan,
peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan
ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup
makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap
kepada para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh
berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.
Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri runtuh dikarenakan pada masa pemerintahan
Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada masa itu
kertajaya (tahun 1222) mengalami pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum
Brahmana menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya
sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, akuwu
Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang
merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kerajaan Kediri dan Tumapel terjadi dekat desa
Ganter. Dalam peperangan tersebut Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya, pada
masa itu menandai berakhirnya masa kejayaan kerajaan Kediri. yang sejak saat
itu kemudian kediri menjadi bawahan Tumapel atau Singoasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kerajaan kediri
menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singosari. Ken Arok mengangkat
Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati kerajaan kediri. Pada tahun 1258
Jayasabha digantikan oleh putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271
Sastrajaya digantikan putranya, yang bernama Jayakatwang. Jayakatwang
memberontak terhadap Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh
Kertanegara, karena dendam masa lalu yang mana leluhurnya Kertajaya dikalahkan
oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun
kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan selama satu tahun dikarenakan
serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu
Kertanegara, Raden Wijaya.
Demikianlah penjelasan mengenai Sejarah Kerajaan Kediri,
mudah-mudahan apa yang telah disampaikan diatas dapat menambah wawasan
pengetahuan Nasional Sobat semua. :)
Referensi:
http://juragansejarah.blogspot.com/2012/05/sejarah-kerajaan-kediri.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kadiri
Referensi:
http://juragansejarah.blogspot.com/2012/05/sejarah-kerajaan-kediri.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kadiri